AYO JOIN DI SINI !!

Selasa, 25 November 2014

Aku dan Halte



Hampir setengah windu rumah itu aku bangun dan aku huni bersama seseorang yang senantiasa membagi sabar dan kasih sayangnya untukku. Sejauh yang terlihat rumah itu mulai terbengkalai. Berdebu dibeberapa sudut, tanamannyapun kering karena musim kemarau dan jarang tersiram. Sebagian cat rumah tersebut mulai lusuh, berlumut dipojok langit-langit yang aku sendiri tahu itu kotor tapi aku sulit menggapainya untuk bersihkan langit-langit itu.

Nyaris setengah windu, dimana rumah yang dibangun dengan susah payah itu, aku upayakan dengan pasanganku untuk tetap kokoh dengan berbagai pilihan material yang baik, rumah itu juga punya sejumlah pernak-pernik untuk menghias interior rumahnya. Lucu-lucu dan sangat marah bila ada yang memindahkannya, apalagi menyentuhnya. Siapa yang akan sangat marah? Akulah orang yang akan murka apabila interior rumahku teracak-acak oleh siapapun.
Sangat nyaris setengah windu, semua kenangan itu terserap disetiap sudut ruang yang ada didalam rumah sederhana itu, tamannya pun menyimpan sejuta memori untuk bersaksi ketika kiamat. Aku yakin mereka bersaksi suatu saat nanti. Aku dan dia hanya butuh penghibur kecil yang lucu didalam rumah itu, bukan badut bukan itu.
Tapi sekarang aku terpaksa meninggalkan rumah itu, rumah yang amat sangat nyaris setengah windu aku tata dan huni. Kini aku pergi, iya pergi keluar dari rumah itu. Entah akan selamanya atau sesekali ku tengok untuk mengenang segala memori. Aku gontai berjalan keluar, entah kemana langkah ini akan membawa tubuh lunglai ku saat ini. Dimana wajahku dibanjiri air mata ketika aku melangkah. Menurutku ini lebih baik, ini keputusan bersama. Mungkin suatu saat nantirumah itu akan menajdi museum. Museum dimana semua orang dapat mengunjunginya, tidak perlu bekas perang atau penjajahan tapi sejarah itu mungkin akan menjadi sejarah kehidupanku. Museum, kenapa aku ingin menjadikannya museum? Karena untuk dijual akupun tak sampai hati, banyak memori yang terekam didalamnya, auranyapun sungguh berbeda. Jauh dari kesan angker dan menyeramkan, namun sebaliknya. Biar jadi museum, kalaupun hancur biarkan hancur apabila gempa berkekuatan besar yang menghancurkannya. Biar jadi museum, biar ada yang rawat dan mengelolanya. Kelak akan ada yang membimbing tamu untuk mengerti perjuangan membangun rumah tidaklah sekedar memilih warna dan lokasi tetapi juga material dan cara membangunnya, kalau perlu hingga ada ruang yang mengajarkan bagaimana menata interior rumah hingga akhirnya menjadi indah.
Aku duduk di halte, iya di halte. Untuk menunggu siapa yang akan menjemputku, menampungku, memungutku untuk singgah ditempatnya atau memberikanku tempat baru. Sesekali aku menoleh kebelakangku, aku lihat jalan setapak yang aku buat dari rumah itu hingga ke halte tempatku singgah sementara ini. Jauh rupanya kaki ini melangkah, saat malah jalan setapak itu ditutupi kabut, terkadang rintik hujan menghapus jejak kakiku. Aku ingin membuatnya lagi agar aku tidak tersesat untuk pulang tapi aku sadar diri bahwa kenyataannya aku tidak lagi untuk dirumah itu. Kupaksakan untuk singgah seperti gembel di halte ini. Dingin dan panas aku rasakan untuk menempa mentalku tanpa sebuah hunian yang nyaman. Kondisi yang menekanku untuk jauh dari kata nyaman. Memulai lagi semua dari nol.
Sesekali aku memanggil beberapa teman yang kebetulan berjalan dihadapanku, mengajaknya mengobrol sejenak untuk melepas kepenatan di halte. Kadang mereka menanyakan kenapa aku disini. Tidak semua menanyakan, aku banyak diam untuk tidak memberi tahu apa yang terjadi. Aku malas tertampar boomerang. Aku malas bercerita tetapi ceritaku berbalik pulang kepadaku. Aku diam untuk tenang dan nyaman.
Mereka kadang mengajakku berjalan meninggalkan halte itu, jauh dari tempat tidak layak huni itu. Tapi itu tempat yang nyaman untuk saat ini, menurutku. Setiap waktu melihat mobil dan motor yang berlalu-lalang memiliki tujuan, pergi tak ada yang berhenti. Kalaupun ada aku hanya diajaknya bermain itupun teman-teman yang kasihan denganku karena diam dihalte.
Aku memilih halte untuk menunggu waktu yang tepat untuk menjadi netral lagi, mempersiapkan diriku untuk mencari tempat yang baru, yang bisa saja memulainya benar-benar dari nol atau aku tinggal siap huni karena dapat undian berhadiah dari bungkus kopi atau sejenisnya. Aku mempersiapkan diriku untuk berpindah dan mengubahnya perlahan-lahan saat ini. Tidak ada ruang privasi, tidak pula bersekat, dan hanya aku beserta halte ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar