Hampir setengah windu rumah itu aku bangun dan aku
huni bersama seseorang yang senantiasa membagi sabar dan kasih sayangnya
untukku. Sejauh yang terlihat rumah itu mulai terbengkalai. Berdebu dibeberapa
sudut, tanamannyapun kering karena musim kemarau dan jarang tersiram. Sebagian cat
rumah tersebut mulai lusuh, berlumut dipojok langit-langit yang aku sendiri
tahu itu kotor tapi aku sulit menggapainya untuk bersihkan langit-langit itu.
Nyaris setengah windu, dimana rumah yang dibangun
dengan susah payah itu, aku upayakan dengan pasanganku untuk tetap kokoh dengan
berbagai pilihan material yang baik, rumah itu juga punya sejumlah
pernak-pernik untuk menghias interior rumahnya. Lucu-lucu dan sangat marah bila
ada yang memindahkannya, apalagi menyentuhnya. Siapa yang akan sangat marah? Akulah
orang yang akan murka apabila interior rumahku teracak-acak oleh siapapun.
Sangat nyaris setengah windu, semua kenangan itu
terserap disetiap sudut ruang yang ada didalam rumah sederhana itu, tamannya
pun menyimpan sejuta memori untuk bersaksi ketika kiamat. Aku yakin mereka
bersaksi suatu saat nanti. Aku dan dia hanya butuh penghibur kecil yang lucu
didalam rumah itu, bukan badut bukan itu.
Tapi sekarang aku terpaksa meninggalkan rumah itu,
rumah yang amat sangat nyaris setengah windu aku tata dan huni. Kini aku pergi,
iya pergi keluar dari rumah itu. Entah akan selamanya atau sesekali ku tengok
untuk mengenang segala memori. Aku gontai berjalan keluar, entah kemana langkah
ini akan membawa tubuh lunglai ku saat ini. Dimana wajahku dibanjiri air mata
ketika aku melangkah. Menurutku ini lebih baik, ini keputusan bersama. Mungkin suatu
saat nantirumah itu akan menajdi museum. Museum dimana semua orang dapat
mengunjunginya, tidak perlu bekas perang atau penjajahan tapi sejarah itu
mungkin akan menjadi sejarah kehidupanku. Museum, kenapa aku ingin
menjadikannya museum? Karena untuk dijual akupun tak sampai hati, banyak memori
yang terekam didalamnya, auranyapun sungguh berbeda. Jauh dari kesan angker dan
menyeramkan, namun sebaliknya. Biar jadi museum, kalaupun hancur biarkan hancur
apabila gempa berkekuatan besar yang menghancurkannya. Biar jadi museum, biar
ada yang rawat dan mengelolanya. Kelak akan ada yang membimbing tamu untuk
mengerti perjuangan membangun rumah tidaklah sekedar memilih warna dan lokasi
tetapi juga material dan cara membangunnya, kalau perlu hingga ada ruang yang
mengajarkan bagaimana menata interior rumah hingga akhirnya menjadi indah.
Aku duduk di halte, iya di halte. Untuk menunggu
siapa yang akan menjemputku, menampungku, memungutku untuk singgah ditempatnya
atau memberikanku tempat baru. Sesekali aku menoleh kebelakangku, aku lihat
jalan setapak yang aku buat dari rumah itu hingga ke halte tempatku singgah
sementara ini. Jauh rupanya kaki ini melangkah, saat malah jalan setapak itu
ditutupi kabut, terkadang rintik hujan menghapus jejak kakiku. Aku ingin
membuatnya lagi agar aku tidak tersesat untuk pulang tapi aku sadar diri bahwa
kenyataannya aku tidak lagi untuk dirumah itu. Kupaksakan untuk singgah seperti
gembel di halte ini. Dingin dan panas aku rasakan untuk menempa mentalku tanpa
sebuah hunian yang nyaman. Kondisi yang menekanku untuk jauh dari kata nyaman. Memulai
lagi semua dari nol.
Sesekali aku memanggil beberapa teman yang kebetulan
berjalan dihadapanku, mengajaknya mengobrol sejenak untuk melepas kepenatan di
halte. Kadang mereka menanyakan kenapa aku disini. Tidak semua menanyakan, aku
banyak diam untuk tidak memberi tahu apa yang terjadi. Aku malas tertampar boomerang.
Aku malas bercerita tetapi ceritaku berbalik pulang kepadaku. Aku diam untuk
tenang dan nyaman.
Mereka kadang mengajakku berjalan meninggalkan halte
itu, jauh dari tempat tidak layak huni itu. Tapi itu tempat yang nyaman untuk
saat ini, menurutku. Setiap waktu melihat mobil dan motor yang berlalu-lalang
memiliki tujuan, pergi tak ada yang berhenti. Kalaupun ada aku hanya diajaknya
bermain itupun teman-teman yang kasihan denganku karena diam dihalte.
Aku memilih halte untuk menunggu waktu yang tepat
untuk menjadi netral lagi, mempersiapkan diriku untuk mencari tempat yang baru,
yang bisa saja memulainya benar-benar dari nol atau aku tinggal siap huni
karena dapat undian berhadiah dari bungkus kopi atau sejenisnya. Aku mempersiapkan diriku untuk
berpindah dan mengubahnya perlahan-lahan saat ini. Tidak ada ruang privasi,
tidak pula bersekat, dan hanya aku beserta halte ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar